Rifqinizamy: Kekosongan Hukum Picu WNA Kuasai Pulau, Regulasi Harus Tegas

Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda saat Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, Selasa (1/7/2025). Foto: Arief/vel
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menegaskan perlunya regulasi yang secara eksplisit mengatur kepemilikan mayoritas oleh Warga Negara Indonesia (WNI) atas tanah di pulau-pulau kecil, guna mencegah penguasaan oleh Warga Negara Asing (WNA) yang berpotensi merugikan kedaulatan nasional.
Hal tersebut disampaikan Rifqinizamy usai Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid pada Selasa (1/7/2025) di DPR RI. Menurutnya, Komisi II DPR RI mendorong Kementerian ATR/BPN untuk segera menyusun regulasi tegas agar tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat dimanfaatkan pihak asing.
“Belakangan ini banyak sekali pemberitaan yang menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil di Indonesia dijualbelikan secara daring dan telah dikuasai serta dikomersialisasikan oleh warga negara asing. Ini fakta yang memalukan kita sebagai bangsa,” tegas politisi Fraksi Partai NasDem itu.
Ia menjelaskan, dari hasil rapat diketahui bahwa lebih dari 97 persen dari sekitar 17.200 pulau kecil di Indonesia belum bersertifikat. Kementerian ATR/BPN pun selama ini bersifat pasif dan hanya menunggu permohonan dari pihak-pihak terkait, baik perorangan maupun badan hukum terdaftar, untuk memproses legalitas hak atas tanah.
Rifqinizamy menekankan bahwa secara hukum, kepemilikan tanah di pulau-pulau kecil seharusnya hanya boleh dimiliki oleh WNI atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Namun dalam praktiknya, banyak WNA yang menguasai pulau melalui skema kerja sama dengan WNI, seperti sewa-menyewa atau pengelolaan komersial, tanpa perlu tercatat sebagai pemilik sah dalam sertifikat.
“Inilah yang kami sebut sebagai kekosongan hukum. Legalitas masih atas nama WNI, tapi penguasaan dan pengelolaan sepenuhnya oleh WNA. Maka solusinya harus ada aturan tegas bahwa dalam skema kerja sama seperti ini, porsi kepemilikan mayoritas harus tetap di tangan WNI,” ujar Rifqinizamy.
Komisi II DPR RI mendesak Kementerian ATR/BPN untuk merumuskan payung hukum baru agar celah hukum ini tidak menjadi jalan masuk bagi kepentingan asing yang dapat membahayakan integritas wilayah dan kedaulatan negara.
“Pulau adalah bagian dari wilayah NKRI. Kita tidak boleh lalai hanya karena tidak ada aturan rinci. Kementerian ATR/BPN harus hadir dengan regulasi yang memastikan WNI tetap pemilik mayoritas tanah di negeri sendiri,” pungkasnya. (rdn)